Jalan menuju Makam Syekh Abdul Mahsyir alias Mbah Mesir di Desa
Durenan, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, terlihat
menjadi "pasar kaget". Para pedagang dadakan menggelar dagangannya
berupa mainan anak-anak, pakaian, dan aneka penganan memadati jalan
menuju makam tokoh agama yang menyiarkan ajaran Islam di wilayah
"Mataraman" pada awal tahun 1900-an itu, sejak Minggu pagi.
Mereka memanfaatkan momentum berduyun-duyunnya masyarakat yang
merayakan Lebaran Ketupat di Durenan. Menurut KH Muhammad Hasan, salah
satu cucu Mbah Mesir, tradisi itu dilakukan kakeknya sejak dahulu kala.
"Biasanya, setiap tujuh hari setelah lebaran, kakek saya itu diundang
oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ke Pendapa Kabupaten Trenggalek
untuk membicarakan situasi dan kondisi masyarakat," katanya.
Sementara masyarakat menunggu kedatangan Mbah Mesir di kediamannya di
Desa Durenan untuk sekadar meminta doa dan mendengarkan hasil
perundingannya dengan pemerintah kolonial. "Masyarakat selalu
berduyun-duyun di rumah Mbah Mesir. Setelah berdoa bersama dan
menyampaikan hasil perundingannya, mereka menyantap hidangan ketupat
setelah sebelumnya berpuasa sunat selama tujuh hari," kata pengasuh
Ponpes Al Kautsar, Durenan itu.
Kini, tradisi itu dilestarikan oleh masyarakat Durenan. Setiap lebaran
ketupat, masyarakat Desa Durenan dan sekitarnya menggelar "simakrama"
(open house). "Ada yang mengusulkan kepada kami agar tradisi itu
dikemas dalam bentuk pengajian bersama dengan menggandeng beberapa
sponsor, tapi saya tolak," kata Hasan.
Ia khawatir tradisi itu akan luntur kalau dikemas dalam bentuk
pengajian atau kegiatan lainnya. "Biarkan saja, seperti ini agar
masyarakat Desa Durenan bisa merayakannya bersama masyarakat lainnya.
Kalau nanti dibuat pengajian, malah tradisi ini akan hilang," katanya.
Selain menikmati hidangan ketupat sayur lengkap dengan opor ayam,
masyarakat yang merayakan Lebaran Ketupat di rumah warga Desa Durenan
menyempatkan diri berziarah ke makam Mbah Mesir.
Mbah Mesir adalah putra dari Yahudo, seorang prajurit dalam laga Perang
Diponegoro yang lari dari kejaran serdadu Belanda, saat Pangeran
Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Makassar. Mbah Mesir berasal
dari Lorok, Kabupaten Pacitan, yang mendirikan sebuah pondok pesantren
di Desa Durenan dan menyiarkan ajaran Islam di wilayah Mataraman.
Sejumlah pendiri pondok pesantren besar di Jatim, seperti Lirboyo,
Jampes, Ploso, dan lain sebagainya pernah "berguru" kepada Mbah Mesir.
Sementara itu, tradisi "simakrama" warga Durenan juga banyak
dimanfaatkan para pemudik yang melintas di ruas jalur
Tulungagung-Trenggalek pada saat Lebaran Ketupat. Hal itulah yang
mengakibatkan kemacetan panjang di ruas jalur itu. (Ant)